Inilah Kerugian Berhaji di Jalur Non Kuota


Kementerian Agama Republik Indonesia tidak berhenti mengimbau supaya warga yang berniat haji menghindari jalur haji non kuota.

Imbauan ini bukan tanpa alasan. Kebanyakan jemaah haji non kuota mengalami nasib kurang menguntungkan di tanah suci, terlantar karena tidak ada yang mengurus.

Cecep Nursyamsi, kepala Seksi Pengendalian PIHK Daerah Kerja Jeddah yang juga bertugas memantau masuknya haji non kuota di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah,  Jumat malam, 19 September 2014, menuturkan, biasanya jamaah haji non kuota ini masuk menggunakan visa ziarah, visa pekerja, atau visa undangan (calling call) dari Arab Saudi. Ada juga yang menggunakan visa haji, namun tidak banyak.

Jamaah yang menggunakan visa haji, biasanya turun di terminal haji secara bergerombol. Jika pakai visa ini, mereka tetap harus membayar general service sebesar US$277 per jemaah.

General service ini untuk fasilitas naqobah (transportasi) dan biaya maktab saat di Arafah. "Biasanya nanti akan keliatan mereka bergerombol," kata Cecep, kepada tim Media Center Haji (MCH) Jeddah.

Namun jika menggunakan visa ziarah dan pekerja, mereka turun di terminal komersial. Jumlah haji non kuota, kata Cecep dari tahun ke tahun merosot.

Tahun 2011 lalu, jumlah mereka masih sekitar 3.000-an, tahun 2012 menyusut setengahnya jadi 2.000-an, begitu pula tahun 2013 yang tinggal sekitar 1.000-an.

Ciri-ciri mereka sebetulnya mudah dikenali. Pertama, tidak memiliki atribut, misal seragam khusus seperti halnya haji reguler atau haji khusus.

Kedua, tidak punya identitas resmi. Haji reguler menggunakan gelang sebagai identitas. Gelang yang harus digunakan jemaah selama beribadah itu bertuliskan, nama, nomor paspor, asal kloter dan embarkasi.

Kerugian menjadi jemaah haji non kloter, antara lain, tidak ada yang menjamin dalam hal akomodasi. Selama musim haji, pondokan-pondokan di Mekah sudah penuh karena disewa selama semusim. Alhasil mereka biasanya terlantar.

"Di Armina, walau mereka punya maktab khusus, tidak ada yang menjamin konsumsi. Biasanya mereka akan datang ke maktab-maktab haji reguler," kata Cecep.

Kerugian lain, tidak ada yang melindungi karena tidak punya petugas atau pembimbing. "Misalnya, terjadi kematian tidak ada asuransi, bahkan sulit dikuburkan karena tidak ada pihak yang bisa bertanggung jawab. Kalau haji kuota kan yang bertanggung jawab pemerintah," kata dia sambil menambahkan setiap tahun ada saja jemaah haji non kuota yang wafat.

Tahun ini, jemaah haji non kuota asal Surabaya diketahui tinggal di sebuah penampungan mirip barak TKI. Mereka harus membayar Rp80 juta per orang oleh seorang kiai untuk bisa berhaji tahun ini.

Sumber: TRIBUNnews