Perkara Narkotika: Timpangnya Neraca Keadilan?


Dalam laporannya tentang kasus-kasus penyiksaan yang terjadi sepanjang tahun 2012, dengan mengutip pendapat pelapor khusus PBB, Manfred Nowak, Kontras menyebutkan bahwa “praktik penyiksaan umumnya terjadi dalam situasi di mana posisi korban begitu tidak berdaya terhadap pelakunya; situasi yang umum terjadi di ruang tahanan yang tertutup” (hlm. 10).

Selanjutnya mereka tambahkan, “[h]al ini juga terjadi di Indonesia di mana kebanyakan mereka yang diduga menjadi korban penyiksaan adalah para tersangka kriminal atau narapidana yang berasal dari kelompok awam (menjadi musuh opini publik seperti teroris, pengedar narkoba, separatis, dan lainnya) dan seringkali tidak didampingi oleh pembela hukum” (hlm 10). Data Kontras juga menunjukkan bahwa pelaku penyiksaan dalam 70% kasus yang mereka amati, ternyata merupakan aparat kepolisian (hlm. 9).

Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan korban? Kalau kita cermati lebih jauh laporan Manfred Nowak tentang praktek penyiksaan di Indonesia, ditegaskan perlu adanya suatu mekanisme pengawasan yang independen, karena “mereka yang mengalami praktek penyiksaan tidak menemukan saluran untuk menyampaikan pengaduan mereka” (hlm. 81).

Mekanisme pengawasan yang selama ini ada dianggap tidak memadai. Manfred Nowak bahkan menyarankan adanya pelatihan khusus terhadap anggota Propam, serta membuka ruang bagi pemantau HAM independen, seperti misalnya Komnas HAM. Hal ini perlu dilakukan, di samping penataan kembali ketentuan-ketentuan pidana yang seharusnya dapat menimbulkan efek jera pada para pelaku penyiksaan.

Pertanyaannya, bagaimana prakteknya selama ini? Meskipun berharap pada adanya suatu mekanisme penjatuhan hukuman pada para pelaku tentu merupakan suatu instrumen yang adil, namun pada kenyataannya hal ini akan kembali pada bagaimana masing-masing institusi itu nantinya menjalankan instrumen tersebut. Harapannya, tentu akan ada pengawasan yang lebih ketat pada (calon) pelaku, sehingga mereka lebih berhati-hati.

Meski demikian, prakteknya belum tentu begitu. Ini persoalan politik yang menjadi amanah para pemegang jabatan lembaga-lembaga negara terkait, serta pada akhirnya akan mempengaruhi legitimasi lembaga-lembaga tersebut yang – berbeda dengan kondisi di bawah Orde Baru yang otoriter – mengalami evaluasi yang berkelanjutan oleh publik.

Alih-alih menghukum pelaku penyiksaan, tersangka/terdakwa/terpidana perkara narkotika dalam prakteknya bahkan akan kerepotan untuk sekedar menyelamatkan dirinya sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam laporan Kontras di atas, kondisi seperti ini menjadi nyata, ketika korbannya (tersangka/terdakwa/terpidana) dapat dikategorikan sebagai “musuh opini publik, seperti teroris, pengedar narkoba, separatis, dan lainnya”.

Mereka yang terjebak dalam situasi tersebut, bukan saja mudah menjadi target eksploitasi aparat yang tidak bertanggungjawab, namun bahkan kesulitan untuk mendapatkan simpati publik. Dengan begitu, apa yang kemudian dapat menjadi sandaran harapan mereka, selain kebijakan hakim yang harus tetap menjaga seimbangnya neraca keadilan?

Kebetulan, minggu lalu terdapat satu kasus semacam ini yang mendapatkan jawaban cukup menggembirakan dari pengadilan tertinggi di Indonesia. Setelah mengalami pengalaman tidak mengenakkan di pintu masuk gedung Mahkamah Agung beberapa waktu yang lalu, seorang ayah yang memperjuangkan nasib anaknya pada akhirnya berhasil mendapatkan keadilan. Dalam kasus tuduhan kepemilikan ganja ini, terdakwa pada akhirnya dibebaskan. Saya belum tahu persis apa yang kemudian menjadi pertimbangan Mahkamah Agung, tetapi putusan ini cukup menjanjikan bagi perubahan nasib para korban kasus narkotika.

Memang betul bahwa kasus tersebut menonjol karena ayah terdakwa, Kasdi, ditolak masuk di pintu masuk Mahkamah Agung. Saat itu dia hanya bersandal jepit. Peristiwa inilah yang menarik simpati dan dukungan publik. Akan tetapi, kalau kita cermati lebih dalam esensi kasusnya, dalam kasus tersebut cukup jelas adanya tuduhan (kepemilikan ganja) yang tidak disertai bukti yang memadai.

Awalnya, terdakwa ditelepon oleh seorang temannya. Begitu datang menemui temannya itu, dia langsung ditangkap oleh aparat kepolisian dengan tuduhan kepemilikan narkoba. Ketidakadilan (prosedural) ini mengundang protes keluarganya. Berbekal uang seadanya, sang ayah kemudian pergi ke Jakarta, untuk mendatangi sendiri gedung Mahkamah Agung dan menanyakan kasus anaknya.

Bagaimanapun, sorotan publik, tekanan dari beberapa lembaga negara (misalnya: Wantimpres), serta keuletan pengacara YLBHI, pada akhirnya membuahkan hasil. Pertanyaannya, akankah kasus ini menjadi semacam preseden untuk kasus-kasus serupa di masa yang akan datang?

Beberapa waktu  belakangan ini, kita juga dapat menemukan adanya perkara sejenis. Seorang pedagang sembako dan agen asuransi, Edih Kusnadi, dijerat dengan pasal perdagangan narkoba. Mirip dengan kejadian di atas, semua berawal dari sebuah telepon. Ketika itu, terdakwa ditelepon oleh seorang temannya yang sebelumnya telah tertangkap basah menggunakan sabu. Begitu datang menemuinya, dia langsung ditangkap oleh beberapa petugas. Menurut pengakuan terdakwa, dirinya disiksa untuk memberikan pengakuan, serta tidak didampingi oleh penasehat hukum dalam proses pemeriksaan itu.

Dari informasi yang saya dapatkan sejauh ini, laporan pada Propam Polri atas tindakan aparat terkait belum membuahkan hasil. Laporan yang telah diajukan sejak lebih dari 10 bulan lalu belum jelas tindak lanjutnya. Tapi, dalam hal ini, ada hal yang mungkin seharusnya mendapat perhatian lebih.

Terlepas dari adanya dugaan penyiksaan itu, terdakwa sudah seharusnya mendapatkan keadilan prosedural. Dalam KUHAP disebutkan bahwa untuk menjatuhkan pidana, hakim harus mendasarkan putusannya pada setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah (Pasal 183). Dengan demikian, pertanyaan utamanya, bolehkah terdakwa dihukum tanpa adanya bukti yang memadai?

    Pasal 183 KUHAP
    Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Jika kita cermati putusan pengadilan tingkat pertama dalam kasus ini, cukup jelas adanya beberapa hal yang membuat hukuman seharusnya tidak dijatuhkan. Mengapa begitu? Bukan saja karena tidak cukupnya (alat) bukti yang memadai, namun bahkan tidak ada kesesuaian antara dakwaan dengan bukti pendukungnya. Dalam putusan tersebut, terdakwa didakwa dengan pemufakatan jahat untuk menjual/membeli narkoba. Dengan demikian, harus dibuktikan terdapat perbuatan dua orang atau lebih untuk bersekongkol (bekerja sama) untuk menjual/membeli benda terlarang itu.

Bagaimana pendapat hakim? Hakim tingkat pertama ternyata meyakini adanya persekongkolan hanya berdasarkan pengakuan terdakwa lain. Jadi, dalam hal ini sebenarnya cukup jelas bahwa sesungguhnya hanya terdapat satu (alat) bukti saja. Betul bahwa ketika terdakwa lain tersebut tertangkap, ditemukan juga adanya 54 gram sabu yang dikemas dalam dua paket. Tapi bagaimana menjelaskan hubungannya dengan terdakwa tersebut?

Satu-satunya bukti yang kemudian dianggap sebagai bukti yang memperkuat dakwaan adalah adanya hasil pemeriksaan urine terdakwa yang positif mengandung methampetamina. Hasil pemeriksaan tersebut masih disanggah oleh terdakwa. Tapi katakanlah itu benar, apakah ini membuktikan adanya tindakan menjual/membeli benda terlarang itu?

Pertanyaan-pertanyaan yang bersumber pada Pasal 183 KUHAP tersebut yang seharusnya dijawab oleh Majelis Kasasi. Dapatkah alat bukti yang tidak memadai (kurang dari dua) atau dakwaan yang tidak membuktikan tindak pidana tertentu dipertahankan? Sayangnya, sejauh ini putusan kasasi belum dipublikasikan.

Kabar yang beredar tentang ditolaknya permohonan kasasi Edih Kusnadi pada bulan November tahun lalu itu, bahkan berbeda dengan data info perkara yang menyatakan bahwa kasus ini masih dalam tahap pemeriksaan. Tapi memang perlu dipahami juga, bahwa data info perkara itu tak bisa dijadikan patokan sebagai catatan aktual Mahkamah Agung.

Bagaimanapun, Edih Kusnadi masih menanti akhir dari jalannya proses hukumnya yang panjang dan berliku ini. Untuk mengulang preseden kasus Sarmidi (anak Kasdi) yang diputus minggu lalu, Edih Kusnadi perlu dukungan publik, tekanan lembaga-lembaga negara, serta keuletan pengacaranya. Sejauh ini dia telah menyuarakan permohonannya ke beberapa pihak, tapi tentu hasil akhirnya nanti di tangan majelis hakim yang menangani perkaranya.

Laporan pelapor khusus PBB, Manfred Nowak, seperti telah dikutip di awal tulisan ini, mungkin betul telah mewakili kondisi memprihatinkan yang terjadi di Indonesia. Tetapi, pertanyaannya, bagaimana mengubahnya? Dari contoh dua kasus narkotika di atas, kondisi ini akan terus bertahan bukan hanya ketika instrumen hukum (peraturan) yang ada tidak memadai, tetapi juga selama: (1) masih ada tersangka/terdakwa/terpidana yang dikategorikan (tanpa kecuali) sebagai “musuh opini publik, seperti teroris, pengedar narkoba, separatis, dan lainnya”; dan (2) masih lemahnya independensi dan kapasitas institusi peradilan yang seharusnya menjalankan instrumen tersebut.