Edih Kusnadi: Kasus Saya Hanya Rekayasa Polisi


Edih Kusnadi, terdakwa kasus kepemilikan sabu yang divonis 10 tahun subsider 4 bulan penjara oleh majelis hakim pengadilan Jakarta Timur, dan kini menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakat (LP) Cipinang, terus berjuang mencari keadilan atas kesalahan yang tak pernah dilakukan.

Dalam rilisnya melalui surat yang disampaikannya kepada redaksi, Edih mengungkapkan kekecewaanya atas penegakan hukum yang ada di negeri ini. Edih menganggap hukum di Indonesia hanya menjadi alat seseorang untuk memperlihatkan kehebatan dan kekuasaannya. Hukum dengan mudah dapat dimainkan dan direkayasa, hanya untuk suatu kepentingan.

Dalam rilisnya itu, Edih mengisahkan penderitaan dan berbagai tekanan yang dialaminya, mulai dari saat penangkapan, saat di BAP penyidik Polda Metro Jaya, bahkan tekanan dalam persidangan. Dia mengaku disiksa dengan banyak pukulan hingga membuat lengannya cedera, kemudian di setrum, agar ia mau mengakui perbuatan yang menurutnya tidak pernah dilakukannya, yakni kepemilikan barang haram, jenis sabu.

Dalam persidangan, kata Edih, barang bukti yang diperlihatkan semuanya palsu, dan di rekayasa. Edih tidak pernah merasa memiliki barang seperti yang perlihatkan dipersidangan. Barang bukti yang dimilikinya adalah sebuah rekaman video, namun rekaman itu tidak pernah dipertontonkan dalam majelis sidang. Menurut Edih, bukti rekaman itu dipegang oleh kuasa hukumnya, Arnold Hutajulu yang kemudian mengundurkan diri dan menghilang bersama barang bukti tersebut.

Dalam suratnya Edih juga menyatakan, bahwa kasusnya tersebut merupakan rekayasa pihak kepolisian (Polda Metro Jaya) untuk suatu kepentingan. Kini Edih harus menjalani hukuman selama 10 tahun 4 bulan penjara atas rekayasa sebuah kasus yang tak pernah dilakukannya.

Di beberapa media baru-baru ini banyak diberitakan terkait kasus berbagai rekayasa yang dilakukan oleh kepolisian. Menurut Kontras, selama tahun 2012 hingga 2013 tercatat sebanyak 21 kasus rekayasa yang dilakukan kepolisian, diantaranya, kasus Yusli, pada 26 Desember 2011 sekitar pukul 03.00 WIB, dia ditangkap oleh anggota Polsek Ciasuk tanpa membawa surat penangkapan, serta tanpa tuduhan. Kedua matanya ditutup menggunakan lakban, kemudian dianiaya dengan berbagai pukulan dan tendangan. Tidak hanya itu, Yusli juga ditembak diluar kewenangan dan prosedur kepolisian hingga mengakibatkannya tewas.

Kasus Jayawijaya, 14 Agustus 2012. Lima orang warga ditangkap Polres Jayawijaya disangka terkait pembunuhan Marten Kurisi. Kelimanya ditangkap tanpa surat penangkapan, dan mendapat penyiksaan saat diinterogasi. Salah satunya, mengalami gangguan kejiwaan.

Kasus Mapipa, 14 Agustus 2012. Sebanyak 17 warga Mapipa ditangkap atas tuduhan pembunuhan, ditempatkan dalam satu ruangan berukuruan 3×2,5 meter. Mereka dipukuli, ditelanjangi, dipotong rambut dan bulu kemaluan, bahkan tak diberi makan dan minum.

Para korban yang tidak bersalah itu dikriminalisasi dengan merekayasa sebuah kasus yang sama sekali tidak pernah perbuat atau pun dilakukannya. Para korban itu disiksa dengan kejam tanpa berprikemansian, bahkan sampai ada yang kehilangan nyawa.

Sumber: GanasNews.com